Beberapa waktu lalu, (22/12/2015) seorang peneliti WNI yang kini aktif di Arizona State University di Amerika Merlyna Lim memberi kuliah umum di Fikom Unpad berjudul Global Protest and Digital Media. Merlyna membeberkan penelitiannya mengenai media digital. Penelitian Merlyna Liem sederhana saja. Ia ingin mengetahui apakah new media (media baru), seperti media dotcom dan sosial media (facebook, twitter, youtube) di Indonesia bisa menjadi media yang membantu dalam proses demokratisasi rakyat di Indonesia? Karena selama ini masyarakat di Indonesia sepertinya sangat gegap-gempita menggunakan new media untuk kepentingan kampanye sosial dan politik. Namun betapa menghentakkannya hasil penelitian Merlyna Liem; ternyata media baru di Indonesia tak terbukti membantu dalam proses demokratisasi di Indonesia. Beberapa argumen penelitian membuktikan bahwa isu yang diusung dalam medsos kebanyakan adalah isu mainstream. Isu yang naik di medsos kebanyakan hanyalah isu-isu yang sudah ditulis media mainstream seperti televisi, koran, dan radio.
Kasus pemboman Sarinah Thamrin Jakarta paling tidak mendukung penelitian Merlyna. Saat itu medsos layaknya media mainstream yang langsung melaporkan dari tempat kejadian. Aneka informasi saling melengkapi. Teks, foto bahkan video memperkuat euforia kejadian terorisme tersebut. Tapi ujung-ujungnya medsos ini saling mencurigai karena banyak diantara informasi yang beredar ternyata hoax saja. Istilah hoax ini juga akhirnya menjadi kata kunci di medsos. Hoax merupakan suatu kata yang digunakan untuk menunjukan pemberitaan palsu atau usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk memercayai sesuatu yang biasanya digunakan di medsos facebook, tweeter, dan blog.Alih-alih ingin menjadi saluran pertama informasi malah menjadi bumerang, karena informasi yang disebar hanya hoax saja.
Perubahan Media
Masalahnya, kini kalangan masyarakat kecanduan medsos. Hampir setiap jam, menit, bahkan detik mereka selalu memantau informasi dari medsos. Apalagi dengan cara copas (copy-paste) dari satu gadget ke gadget lainnya pertanggungjawaban atas keabsahan infomasi patut diperhatikan karena kebiasaan copas bisa menuai protes. Misalnya, jika ada informasi yang perlu diklarifikasi maka dijawab dengan gampang, ”maaf saya hanya copas dari tetangga sebelah”. Lantas apakah medsos ini mampu melakukan demokratisasi informasi di masyarakat?
Dalam kajian Ilmu Komunikasi, ada lima karakteristik media massa, yakni aktualitas, universalitas, publisistas, periodisitas, dan kontinuitas. Jika kita mau cek, medsos tidak memiliki sepenuhnya karakteristik tersebut, sehingga keabsahan informasinya patut dipertanyakan. Namun yang terjadi seolah-olah medsos ingin bertindak sebagai media maistream. Inilah yang dalam tulisan ini ingin saya kupas.
Isu-isu seperti kematian Mirna karena racun sianida sampai dugaan pelecehan seksual yang diakukan seorang selebriti Indonesia kini mudah sekali masuk menjadi trending topics di medsos. Padahal berita semacam itu menurut ukuran nilai berita harus memenuhi persyaratan, seperti check & recheck, cover both side, dan balance. Bagaimana tiba-tiba medsos ikutan-ikutan mengekor seperti media mainstream. Saya terkadang kuatir melihat aktivitas para netizen yang mengumbar info-info yang bisa jadi menjurus hoax.
Roger Fidler dalam bukunya Mediamorfosis menjelaskan adanya perubahan secara evolusioner keberadaan media, dari media komunikasi lisan berubah menjadi media tulisan, dan terakhir menjelma menjadi media audiovisual yang sekarang kita alami. Menurut Fidler perlu waktu sekitar 30 tahun bagi media untuk melakukan mediamorfosis.
Jika meruntut konsepsi Fidler, kondisi media pada posisi sebagai media audiovisual kini mengalami stagnan. Tapi dengan munculnya media baru yang diwakili medsos, jangan-jangan kini sedang terjadi neomediamorfosis, yakni terjadinya perubahan evolusif media sosial ‘seolah-olah’ menjadi media massa. Saya katakan ‘seolah-olah’ karena prinsipnya medsos tidak sama dengan media mainstream karena perbedaan karakteristik, nilai berita, dan isi.
Dilihat dari karakteristik dan nilai berita, medsos tidak memilikinya layaknya media mainstream. Juga dilihat dari kontennya medsos awalnya berisi informasi marjinal yang selama ini kurang tersentuh media mainstream. Merlyna mencontohkan, berita seperti kematian ibu dan bayi di Flores maupun koin untuk korban Lapindo tak pernah menjadi berita hangat di twitter maupun facebook. Jadi, tak heran jika penelitian ini membuktikan bahwa new media belum menjadi bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Penelitian juga menunjukkan bahwa new media tidak banyak menuliskan tentang isu-isu marjinal, seperti perempuan. Koin untuk Prita, Bibit Chandra bisa masuk dan menjadi trending topics di twitter misalnya, itu karena hampir semua media mainstream mengusungnya. Ini artinya, keberadaan new media tidak bisa memberikan perspektif sendiri dalam proses demokratisasi informasi karena hanya mengekor media mainstream.
Inilah yang saya maksud munculnya neomediamorfosis. Medsos bukannya menempatkan wajah kemandiriannya sebagai indie label, tapi justru ingin mengubah dirinya melebur seolah-olah menjadi media mainstream. Jika kondisi ini terjadi maka tertutup harapan munculnya demokratisasi informasi yang awalnya dipikulkan pada pundak medsos. Jangan lupa juga bahwa netizen bukanlah wartawan yang mudah begitu saja menggantikan fungsi wartawan media massa. Informasi marjinal yang leluasa disajikan di ruang publik akan mejadi harapan masyarakat untuk menjawab fenomena ruang publik di media mainstream. Dan jika medsos mengalami morfosis maka tidak ada lagi heterogenitas informasi di ranah publik. Sementara konglomerasi media jelas-jelas menunjukkan homogenitas informasi karena kepentingan industri media. Padahal kehidupan yang harmonis adalah ketika mampu menghadirkan sisi yang berbeda, yang heterogen, bukan selalu memelihara sisi yang sama, homogen.
Yang tak kalah penting media maistream juga sebaliknya jangan mengubah seperti media sosial. Karena menurut Merlyna banyak wartawan yang menggunakan isu-isu yang beredar di sosial media sebagai bahan untuk melakukan wawancara, merumuskan dialog di media sekaligus menjadikannya framing dalam pemberitaan di media.**
Would you like to share your thoughts?
Your email address will not be published. Required fields are marked *