Askurifai Baksin
SEMUA mafhum adanya empat fungsi media massa, yakni to inform, to educate, to entertaint, dan to influence(memengaruhi). Keempat fungsi tersebut dirasakan masyarakat pengguna media. Namun, ketika media sosial berkembang didukung sarana internet, fungsi influence kini menjadi perhatian karena influential-nya berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kris Moeryanto (praktisi media) menyebut ada empat perusahaan besar yang kini influential-nya demikian kuat. Keempat perusahaan itu disebutnya sebagai The ‘four horsemen of the apocalypse’, yakni Facebook, Google, Apple serta Amazon. Pertanyaannya, apa yang membuat mereka sedemikian influential? Ternyata jawabannya algoritma. Ibarat senjata sangat rahasia, algoritma itulah yang selama ini membuat Google nyaris selalu berhasil menemukan jawaban atas apa saja pertanyaan kita. Algoritma pula yang membuat Apple selalu bisa merancang produk yang ditunggu-tunggu penggemarnya dan laku keras terjual di benua mana saja karena bisa “menebak” apa hasrat, keinginan serta ekspektasi yang diidamkan penggunanya. Pun algoritma-lah yang membuat Amazon bisa menjelma menjadi “toko serba ada”, persis seperti yang konsumen butuhkan. Berkat algoritma pula, Facebook bisa mendikte, menggiring, membentuk opini dan memengaruhi keputusan audiens. Dalam hal ini, Facebook melakukannya melalui kontrol emosi serta dengan rekayasa dan manipulasi trending topic.
Hoax dan Trending Topic
Ketika tragedi bom Sarinah Jakarta mengguncang masyarakat Indonesia, informasi yang beredar justru awalnya dari medsos. Setelah itu diikuti media mainstream. Informasi dari media sosial kadar kredibilitasnya rendah, tapi paling tidak ada riak-riak informasi yang nantinya mengiringi berita ‘resmi’ dari media massa.
Demikian juga terkadang ada oknum media daring yang tingkat akurasinya rendah karena bahan berita didapat dengan cara copy paste dari sana-sini. Model ramuan berita semacam ini sudah jamak kita lihat di beberapa media daring. Karena yang mereka kejar bukan akurasi berita tapi monetisasi rupiah yang mereka kelola dengan menjadi mitra adsense. Pemerintah memberikan rambu-rambu bahwa media massa hanya bisa dikelola oleh lembaga pers yang berbadan hukum. Tapi kalau hanya segelintir orang mengelola media daring tanpa menerjunkan wartawannya untuk meliput kemudian mengolahnya menjadi berita yang muncul hanya kompilasi informasi yang menjurus plagiasi.
Yang menjadi sorotan adalah hoax dan trending topic. Hoax sudah menjadi kata kunci di media sosial karena begitu banyak informasi (bukan berita) yang terkadang menyesatkan. Sindikasi hoax tujuan utamanya membuat aliran informasi diantara medsos mampu menghasilkan views, scribe, dan like. Ujung-ujungnya semua komoditas hoax ini dimonetasi menjadi rupiah.
Demikian juga trending topic. Jagat maya terguncang hebat dengan adanya penemuan Facebook melakukan manipulasi dalam menciptakan trending topic. Rahasia gelap praktik curang trending topic menjadi benar-benar terbongkar, setelah The Guardian menerbitkan artikel yang mengungkap bocoran dokumen rahasia berisi manual di internal Facebook tentang bagaimana tatacara rekayasa pengaturan trending topic dilakukan. Mendadak, lansekap pun gaduh. Tak kurang dari Senat AS pun sampai tergerak mengusut skandal ini. Meluasnya bocoran dokumen tadi juga yang memaksa pihak Facebook akhirnya membuat pengakuan resmi, terkait tuduhan rekayasa trending topic. Tapi dalam status resminya Mark Zuckerberg selaku CEO dan Founder Facebook tetap membantah keras tudingan rekayasa tersebut. (lihat: www.theguardian.com/technology/2016/may/12/facebook-trending-news-leaked-documents-editor-guidelines).
Prosumen Jurnalistik
Kini kita tahu, ternyata di medsos pun mempekerjakan para kurator berita. Kelompok yang bertugas di trending news section, statusnya di Facebookmerupakan tenaga kontrak, bukan pegawai tetap. Rata-rata masih berusia 20-an atau 30-an tahun. Kebanyakan lulusan perguruan tinggi terkemuka, seperti Columbia University, New York University, atau Ivy League. Sebagian, tercatat pernah menjadi jurnalis di the New York Daily News, Bloomberg, MSNBC, serta The Guardian, Inggris. Walau dibayar pantas, kebanyakan mengeluhkan tentang suasana kerja yang penuh tekanan dan intimidasi. Bahkan kebanyakan merasa diperlakukan tak seperti layaknya manusia. Karena demi bisa mengontrol pendapat audiens, para news curator ini harus bisa menghasilkan trending topic sebanyak mungkin, selama 24 jam (www.kris170845.wordpress.com).
Realitas kerja jurnalistik tersebut di atas sebagai fenomena prosumen jurnalistik. Istilah prosumen berasal dari bidang ilmu manajemen yang menggabungkan antara produsen dan konsumen (disingkat prosumen). Sama seperti dalam penamaan alat produksi di multimedia. Jika kita membeli alat murah biasanya disebut standar konsumen (amatir), jika mahal disebut profesional. Namun, jika kita memilih diantara keduanya, setengah amatir setengah profesional disebut prosumen (bahasa Inggrisnya prosumer). Jadi, prosumen selalu berada di tengah.
Demikian juga dengan prosumen jurnalistik. Para pengguna medsos kini berbondong-bondong memasuki wilayah prosumen. Menurut Rhenal Khasali, masyarakat Indonesia kini terjangkiti sifat prosumen. Mereka awalnya menjadi konsumen berita, tapi dengan berkembangnya medsos mereka ingin juga menjadi produsen berita dengan cara menyebarkan berbagai informasi yang ‘seolah-olah’ berita. Fenomena inilah yang akhirnya memunculkan istilah hoax dan trending topic. Seolah kalau sudah di medsos sebuah informasi menjadi penting, berarti, menguasai hajat orang banyak, dan terutama mengandung influence.
Masalahnya, jika menyangkut peralatan produksi kita memilih prosumen karena sebagai alternatif. Biasanya peralatan produksi semacam ini dibeli kalangan kampus karena harganya tidak terlalu mahal tapi mendekati kerja profesional. Prosumen jurnalistik tentu tidak bisa karena dalam kajian jurnalistik selalu dibedakan antara pers dan jurnalistik. Pers merupakan media untuk memuat karya jurnalistik, sementara jurnalistik adalah kegiatan mencari, mengolah, membuat berita dan menyebarluaskan kepada khalayak secepat-cepatnya dan seluas-luasnya berdasarkan fakta dan data.
Sementara kalau prosumen gejalanya para pengguna medsos mengirim berbagai peristiwa, foto atau video ke semua orang tanpa proses jurnalistik melalui medsos. Karena tidak melalui proses jurnalistik, produknya bukan berita tapi hanya sekadar hoax atau trending topic saja. Selain itu medianya pun bukan media massa yang mempunyai empat fungsi di atas. Jadi, hati-hatilah menjadi prosumen jurnalistik karena Anda bisa terkena delik aduan, atau bahkan tersangkut UU ITE. Alih-alih ingin menyebarkan influence malah informasi menyesatkan dan ghibah.*
(artikel ini pernah dimuat di HU Pikiran Rakyat)
Would you like to share your thoughts?
Your email address will not be published. Required fields are marked *