“Seorang brand journalist atau corporate reporter bekerja di dalam perusahaan, menulis, dan memroduksi video, blog, foto, webinars, bagan, grafik, e-book, podcast, dan informasi lainnya memberikan value bagi pasar Anda,” (Ann Handley, chief content officer at MarketingProfs).

            Perubahan platform teknologi dan gaya hidup milenial memaksa PR (public relations) menerapkan konsep Brand Journalism atau Corporate Journalism (jurnalisme perusahaan) yang memadukan keterampilan jurnalistik, content marketing, dan media relations.

Suharjo Nugroho, Managing Director Imogen PR menyebutkan, konsekuensi praktik brand journalism adalah peran perusahaan tidak sekadar menyampaikan berita tapi penghubung praktik kehumasan dan pemasaran brand. Tantangannya, informasi yang dulu hanya didapat dari media kini bisa mengalir dari mana saja.

Berikutnya, perusahaan perlu memahami jenis platform dan jenis konten yang sesuai karakter audiens. Setiap platform memiliki pasarnya masing-masing. Contohnya twitter, umumnya digunakan kalangan marketer di perkotaan yang selalu update  berita. Sementara instagram target utamanya anak muda di bawah 35 tahun, yang senang mengikuti tren baru serba cepat.

Hingga kini belum banyak perusahaan, lembaga, atau instansi di Indonesia yang menerapkan brand journalism ini. Padahal Corporate Journalism mulai populer  awal tahun 2012 ketika CEO & Founder PR Daily, Mark Ragan memperkenalkan konsep brand journalism. Dengan mengombinasikan skill jurnalisme dan brand, konsep ini menjadi trend di antara para pebisnis dalam memperkenalkan merek mereka.

 Kyle Monson (di blognya Brian Solis) menyebutkan,  brand journalism  adalah kombinasi kejujuran, narasi cerita, dan partisipasi audiens. Targetnya adalah audiens yang paling savvy dan pintar, yakni para influencer. Mereka tidak mudah dibodohi, tidak suka konten jelek, dan mereka tidak peduli advertising tradisional. Sulit berhubungan dengan para influencer tapi brand bisa melakukannya dengan bertindak nyata, tidak berpura-pura, menyampaikan informasi sesuai kebutuhan mereka, dan ada relevansi antara yang disampaikan brand di daring  dan luring.

Oscar Prajnaphalla dan Putri Rizky Pramadhani menyebutkan, Tom Foremski, mantan jurnalis The Financial Times yang kini bekerja di Silicon Valley menciptakan jargon EC=MC,  singkatan dari Every Company is a Media Company karena tidak peduli apa pun jenis usahanya, semua perusahaan saat ini dituntut untuk bercerita. Lebih lanjut Foremski menuturkan, setiap perusahaan wajib menciptakan konten di berbagai saluran yang berbeda, baik media massa atau media sosial, agar ‘terlihat’ publik. “Jika merek kita tidak pernah terlihat atau terdengar di media maka publik akan menganggap merek kita tidak pernah exist,” jelasnya.

Sementara itu menurut Lisa Arledge Powell, President of MediaSource, kunci brand journalism memproduksi konten yang diinginkan audiens. “Bukan tentang CEO. Bukan tentang merek Anda. Bukan pula tentang apa yang ingin Anda promosikan.” Inilah yang sering ditulis PRO ketika menulis press release atau publisitas yang umumnya tidak dibutuhkan audiens. 

Kolaborasi Tiga Bidang Kajian

            Fikom Unisba kini memiliki tiga bidang kajian, yakni Ilmu Jurnalistik, Public Relations (humas), dan Manajemen Komunikasi. Masing-masing bidang kajian punya penekanan sendiri. Ilmu Jurnalistik core-nya keterampilan mengolah informasi menjadi karya jurnalistik berdasarkan fakta dan data dengan gaya penceritaan melalui berita, feature, maupun artikel. Urusan branding dan merek produk dan jasa merupakan keterampilan yang dimiliki bidang kajian Public Relations. Sementara Manajemen Komunikasi banyak mengkaji persoalan manajemen dan content marketing. Jika ketiga bidang kajian berkolaborasi maka konsep Brand Journalism menjadi skills kolaboratif yang andal.

            Praktik brand journalism di lapangan adalah bagaimana sebuah perusahaan, lembaga, instansi, baik produk maupun jasa mengedepankan content marketing yang berisi edukasi tentang produk dan jasa yang akan dipasarkan. Setelah itu baru menjual produk atau jasa secara halus kepada konsumen. 

Brand journalism tidak akan bisa menggantikan peran media massa sebagai kurator dan validator  informasi. Apalagi di tengah hiruk pikuk hoaks yang banyak dipraktikkan media sosial. Mau tidak mau seorang corporate journalist harus membedakan antara media sosial dan sosial media. Media sosial adalah media tempat praktik brand journalism perusahaan, lembaga, instansi dan lainnya, bisa via facebook, instagram, youtube, dan twitter. Sementara sosial media merupakan aktivitas yang dilakukan corporate journalist untuk membuat cerita yang naratif tentang bidang usaha lewat tulisan, foto, video, komik, dan infogram.

Untuk konsumen, brand journalism merupakan alternatif mendapatkan informasi yang ingin mereka serap, baik lewat tulisan, foto, video, infogram, komik, dan infogram. Agar informasi kredibel maka habit jurnalis yang selalu mengedepankan data dan fakta yang verifikatif menjadi garansi. Jika media sosial yang digarap brand journalism kredibel tak heran akan mendatangkan subscriber dan follower tinggi. Akibat traffic media sosial yang dirancang corporate journalism aktif maka Alexa Rank secara nasional maupun internasional bisa rendah yang artinya kredibel dan bonafid.

*Askurifai Baksin Pengajar Univeritas Islam Bandung