Askurifai Baksin
APA jadinya jika debat paslon gubernur Jabar berakhir ricuh? Pasalnya, saat closing statement paslon Sudrajat-Ahmad Syaihu (Asyik) membentangkan kaus bertuliskan tagar#2018AsyikMenang#2019GantiPresiden di Balairung UI Depok (14/5) terjadi ricuh. Bisa ditebak, peristiwa ini menimbulkan reaksi dari timses paslon lain.
Kepala Badan Hukum dan Advokasi DPD PDIP Jabar, Rafael Situmorang melaporkan kejadian ini kepada Bawaslu Jabar. Selanjutnya, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa Daniel Johan menilai aksi ini tidak pas. Kemudian Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily meminta Komisi Pemilihan Umum menjatuhkan sanksi kepada paslon nomor tiga. Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani menganggap paslon nomor urut tiga terlalu bersemangat sehingga membentangkan kaus yang tidak sesuai.
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hendrawan Supratikno mengaku heran dengan apa yang dilakukan paslon Asyik. Dia memaparkan, tidak selalu kemenangan dari salah satu calon di pilkada bisa mengganti Presiden Jokowi pada Pilpres 2019. Karena Pilkada Jawa Timur paslon yang diusung PDIP, yakni Gus Ipul dan Puti Guntur juga didukung Gerindra dan juga PKS. Sekretaris Jenderal Partai NasDem Jhonny G Plate menilai, paslon Asyik melakukan kesalahan. Menurut Jhonny, debat Pilgub Jabar tidak seharusnya diisi materi yang menyangkut kontestasi Pemilihan Presiden 2019. Sementara menurut Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon, hal tersebut tak ada masalah dan sangat demokratis. Ketua Tim Kampanye Asyik, Haru Suandharu berkeyakinan bahwa apa yang disampaikan merupakan hak kebebasan berekspresi dan dijamin UUD 1945 (Tempo.com15/5).
Sebelumnya, peristiwa CFD di HI Jakarta (29/4/18) beberapa waktu memunculkan polemik. Dua kelompok yang kontra masuk dalam area yang sama sehingga menimbulkan ketegangan. Kelompok pertama menggunakan kaus dengan #2019GantiPresiden. Sementara kelompok kedua mengenakan kaus #DiaSibukBekerja. Karena pengaruh psikologi massa muncul gesekan yang tidak bisa dielakkan. Tercatat ada dua orang yang akhirnya mengadukan peristiwa persekusi ini kepada pihak kepolisian, yakani Susi Ferawati yang membawa anaknya serta Stedi Repki Watung.
Proses Inkremental
Apa yang terjadi di CFD HI ini merupakan proses inkremental, yang menurut KBBI daring merupakan ‘proses berkembang sedikit demi sedikit secara teratur’. Disebut inkremental karena awalnya berasal dari hashtag atau tagar yang dilontarkan seorang politisi bernama Mardani Ali Sera. #2019GantiPresiden tercipta ketika mulai terjadi kontestasi Pilpres tahun mendatang. Berhubung politisi ini punya calon presiden 2019 lain maka tagar yang akhirnya menjadi viral itu pun muncul secara luring. Inilah yang disebut proses inkremental, dari tagar daring menjadi gerakan luring di CFD yang rawan menimbulkan gesekan. Media sosial menjadi sarana empuk menviralkan tagar tersebut. Setelah viral di medsos tagar ini pun berkembang merambah dalam bentuk tulisan di kaus.
Proses inkremental ini mengingatkan kepada revolusi yang terjadi di Thailand beberapa waktu lalu. Saat itu pihak oposisi awalnya hanya mengenakan kaus berwarna kuning. Akhirnya kaus kuning ini menjadi simbol perlawanan kaum opisisi untuk menantang Thaksin Shinawatra saat itu.
Saya menduga sejarah di negara tetangga ini menjadi inspirasi lahirnya #2019GantiPresiden. Proses inkremental terjadi dari hal yang awalnya sederhana lambat laun menjadi kekuatan gerakan moral. Tagar ini awalnya gerakan yang dianggap biasa tapi jika dirunut penciptanya adalah politisi bisa jadi dijiwai gerakan politik. Jadi, terjadi proses inkremantal gerakan politik yang awalnya secara medsos seperti tagar biasa. Sama juga ketika di jaman PDI Suryadi berseteru dengan PDI-P silam yang menggelorakan kaus merah sebagai gerakan moral kemudian lambat laun menjadi gerakan politik PDI-P. Bedanya saat itu belum ada medsos yang ampuh seperti saat ini. Inkremental jaman dulu memerlukan waktu cukup lama karena belum ada gawai dan medsos. Kini inkremantal bisa lebih cepat.
Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) mengeluarkan maklumat terkait pemakaian kaos #2019GantiPresiden. Maklumat tersebut salah satunya menyebut pemakaian kaos serta atribut bertuliskan #2019GantiPresiden tidak melanggar hukum (detik.com, 30/4/18) . Hal serupa juga dikenakan pada #DiaSibukKerja. Artinya, kedua tagar ini sama-sama tidak melanggar hukum.
Sebuah hashtag merupakan kata atau frase tanpa spasi yang diawali dengan simbol hash (“#”). Ini adalah bentuk tag metadata. Kata-kata dalam pesan pada microblogging dan jejaring sosial seperti Twitter, Facebook, Google+ atau Instagram dapat ditandai dengan menempatkan “#” di depannya. Hashtag dapat berupa kalimat atau kata tanpa spasi, contohnya penulisan artikel dengan penambahan hashtag #OrganixDigital. Dengan hashtag tersebut maka informasi yang ditambah hashtag #OrganixDigital akan otomatis tergabung menjadi sebuah kelompok artikel dengan hashtag yang sama di dalam satu halaman (organix-digital.com).
Hashtag memiliki beberapa fungsi, diantaranya sarana promosi produk. Produk kedua kelompok tersebut adalah menjual calon presiden masing-masing. Yang satu menjual calon presiden nonjokowi, yang satunya menjual Pak Jokowi. Jika ditelusuri komunikasi dalam promosi produk pasti ada produsennya. Produsen hashtag terkadang kurang dikenal. Seringkali yang kena getahnya penjualnya, bukan produsennya. Karena penjual inilah yang menggunakan hashtag dalam bentuk atribut, bisa kaus, pin, gantungan kunci, spanduk, stiker, dan lainnya.
Inkremental sejatinya mengganti istilah tranformasi. Habraken (1976) yang dikutip Pakilaran, (2006, dalam www.ar. itb.ac.id) menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi, salah satunya kebutuhan identitas diri. Pada dasarnya orang ingin dikenal dan ingin memperkenalkan diri. Jadi, manakala sekelompok orang menggunakan kaus #2019GantiPresiden dan #DiaSibukKerja tujuan utamanya kebutuhan identitas diri. Persoalannya, semakin viral tagar ini membentuk fanatisme pengikutnya maka semakin membuka kesempatan konflik horizontal. Untuk itu hati-hatilah dengan ‘hashtag’. Gegara ‘hashtag’ terjadi dua kericuhan di atas.**
*Artikel ini pernah dimuat di HU Pikiran Rakyat Bandung
Would you like to share your thoughts?
Your email address will not be published. Required fields are marked *