MEMBICARAKAN tentang etika berkaitan dengan hukum. Bicara tentang hukum berhubungan dengan peraturan. Peraturan yang terkait dengan dunia penyiaran berupa UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,  Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/03/2012  tentang Pedoman Perilaku Penyiaran, dan Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran.

KPI sudah menetapkan aturan yang berkaitan dengan konten siaran, baik untuk program televisi yang tampil di stasiun tv reguler maupun media sosial yang kini sedikit demi sedikit menggeser keberadaan stasiun tv.  

Di bawah ini akan dibahas soal etika penyiaran dari dua perspektif, yakni dari perspektif umum dan perspektif Islam.

Etika berhubungan dengan pantas tidaknya sesuatu dilakukan karena terikat oleh norma. Karena penyiaran yang dibahas mengarah pada dunia digital maka menurut Rully Nasrullah etika merupakan seperangkat aturan yang dipahami dan diakui oleh para pengguna internet. Secara istilah dikenal dengan kata nettiquette yang bermakna sebagai etika atau tata nilai yang diterapkan dalam berkomunikasi di dunia siber (Nasrullah, 2014: 121).

Mengapa etika ini diperlukan?

Masih menurut Rully, pengguna internet tidak berasal dari latar belakang dan lingkungan yang sama. Perbedaan ini mestinya menjadi pertimbangan dan juga harus dipatuhi oleh institusi karena pada dasarnya media digital seperti media sosial merupakan ruang publik yang bisa diakses oleh siapa saja. Perbedaan jenjang  pendidikan, sebagai misal, bisa menyebabkan adanya kesenjangan dalam membaca setiap publikasi di media sosial.

Kedua, komunikasi yang terjadi di media digital cenderung mengandalkan pada aspek teks yang terbaca. Kondisi tersebut tentu memerlukan sikap kehati-hatian para pengelola media digital institusi, terutama di media sosial, untuk menghindari kesalahtafsiran atau pemaknaan yang berbeda oleh khalayak. Perbedaan bahasa juga dapat menjadi faktor hambatan yang dalam kasus tertentu merugikan institusi; penggunaan satu kata yang dalam bahasa daerah tertentu maknanya baik, bisa jadi pada bahasa daerah lain bermakna berbeda, ungkapan kasar, atau bahkan berkonotasi jorok.

Ketiga, pengunggahan konten di media digital tidak hanya bersifat tertuju kepada akun atau khalayak tertentu. Algoritma media sosial juga membuka peluang khalayak lain untuk bisa mengakses, misalnya di Facebook teman dari teman yang terkait dengan akun medsos intitusi bisa juga melihat publikasi. Selain itu, ada fitur yang memungkinkan khalayak untuk menyebarkan (share) konten kepada jaringannya sehingga meskipun konten telah dihapus ada kemungkinan konten itu telah ditangkapan layar (screen capture) dan tersebar kepada khalayak lebih luas.

Keempat, media digital yang dikelola oleh institusi tidak hanya sebagai medium yang hadir di dunia digital atau virtual saja. Konten dan perilaku di media digital memiliki jalinan juga di dunia oflline atau nyata. Apa yang terjadi di ruang digital bisa saja membawa efek dan dampaknya di kehidupan nyata. Perilaku pengelola di media sosial, sebagai contoh dengan menjelekkan konsumen dapat mengakibatkan hilangnya calon pelanggan, adanya boikot terhadap produk, dan merosotnya kepercayaan terhadap jenama (brand).

Kelima, situasi terkini atau momen menjadi pertimbangan penting sebagai tatanan nilai dalam memproduksi dan mendistribusikan konten di media sosial. Situas sosial-politik, ekonomi, sampai pada situasi pribadi seperti dalam kondisi duka memberikan semacam sinyal kehati-hatian dalam mengelola media sosial. Akun media sosial institusi dengan demikian juga harus menunjukkan rasa simpati dan empati terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Misalnya, terjadi kecelakaan mobil tunggal yang menewaskan sang sopir, tidak serta-merta akun mediasosial memublikasikan cara berkendaraan yang aman dan juga dipublikasi secara masif, meskipun produk yang dijual adalah alat atau perangkat keselamatan berkendaraan.

Terakhir, perlunya pemahanan terhadap hak dan kewajiban serta berbagai aturan yang ada di media digital. Setiap pengguna oleh karena itu harus memahami etika di internet agar komunikasi digital yang dilakukan tidak melanggar norma maupun nilai-nilai seseorang atau komunitas tertentu.

Bangkit Adhi Wiguno melansir dari zahiraccounting.com, berikut adalah tiga etika bermedia sosial, yakni hindari menggunakan bahasa yang kasar dan intimidatif. Bahasa memegang peranan penting dalam proses komunikasi, tak terkecuali komunikasi di media sosial. Dalam beberapa kasus, seorang pengguna media sosial sering kali menggunakan bahasa yang kasar atau menyinggung, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, ketika berkomunikasi dengan pengguna media sosial lain.

Bahasa yang kasar atau menyinggung mampu membuat pengguna media sosial merasa tertekan, terintimidasi, dan terhalangi kebebasannya. Hal tersebut kemudian berimplikasi pada menyusutnya ruang publik yang sebelumnya telah dihadirkan oleh media sosial.

Kedua, jangan menyebarkan isu-isu sensitif. Media sosial memang membawa kebebasan bagi para penggunanya. Berbagai substansi konten bisa langsung tampil di beranda media sosial tanpa melalui filter-filter tertentu. Namun, hal tersebut bisa menjadi masalah ketika pengguna media sosial justru memanfaatkan kebebasan tersebut untuk mengunggah konten-konten sensitif, seperti pornografi, rasisme, hingga kekerasan. Konten-konten sensitif tersebut berpotensi untuk memicu konflik, baik di media sosial maupun konflik nyata.

Ketiga, rajin-rajin memeriksa validitas informasi. Kebebasan yang ditawarkan media sosial memang nyata adanya. Hampir semua informasi dapat dibagikan melalui media sosial tanpa melalui filter-filter tertentu. Namun, kebebasan tersebut membawa dampak buruk, yakni mudahnya seorang pengguna sosial media menyebarkan berita atau informasi palsu. Ironisnya, beberapa pengguna media sosial menyebarkan informasi palsu tanpa disadari. Mereka biasanya langsung percaya akan kebenaran suatu informasi yang baru saja ditemui.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pengguna media sosial harus aktif dalam mengecek validitas informasi. Hal tersebut bisa dilakukan melaluo berbagai hal, seperti mengecek sumber berita, membandingkan informasi dengan realita di lapangan, hingga membandingkan satu sumber dengan sumber lainnya.

Nah, di atas sudah dipaparkan mengenai etika penyiaran yang berlaku secara umum. Berikut dibahas soal etika penyiaran dari perspektif Islam.

Menurut Yusuf Abu Harun dalam bukunya Be A Host In Da’wah Media, pada dasarnya, komunikasi adalah proses sosial melalui satu orang (komunikator) yang kemudian memperoleh respon dari orang lain (komunikan) dengan menggunakan simbol. Komunikator dalam penyiaran radio lebih sering dilakukan  secara  kelompok  daripada  personal.  Disebut  kelompok  karena  output siaran dilakukan oleh banyak orang seperti penyiar, produser, penulis naskah, penata musik, dan lain-lain. Namun, ketika topik siaran diwakili oleh satu ujung tombak, yaitu penyiar atau presenter.

Dengan kemajuan teknologi komunikasi, informasi tentang berbagai hal, yang baik maupun yang buruk, dapat menjangkau masyarakat yang sangat luas sampai ke pelosok pedalaman. Oleh karena itu para pengelola media massa, khususnya penyelenggara   penyiaran   televisi   dan   radio,   diharapkan   mampu   menjalankan fungsinya secara proporsional dan bertanggungjawab dalam rangka ikut serta mewujudkan masyarakat maju, sejahtera, dan beradab. Dalam kenyataannya sering terjadi fungsi itu tidak berjalan seimbang. Fungsi menghibur sering lebih menonjol karena dorongan berbagai kepentingan, di antaranya kepentingan bisnis sehingga fungsi pendidikan kadang terdesak atau terkalahkan.

Dalam kondisi  demikian  itulah  kita  perlu  acuan  bentuk  seperangkat  etika penyiaran,  yang  di  antara  sumbernya  adalah  dari  ajaran  agama.  Prinsip  etika penyiaran menurut pandangan Islam di antaranya sebagai berikut : 

Pertama, menggunakan cara yang bijaksana (hikmah).Yang dimaksud dengan hikmah dalam konteks ini adalah memperhatikan waktu, tempat, dan kondisi masyarakat. Dalam menyiarkan informasi, keagamaan hendaknya dengan cara yang bijaksana. Allah Ta’ala berfirman dalam QS.An-Nahl: 125.

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِیلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَـٰدِلۡهُم بِٱلَّتِی هِیَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِیلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِینَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan

berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.

Kedua, bertukar pikiran. Sesuai ayat di atas, orang menyampaikan informasi bisa juga dilakukan melalui tukar pikiran (diskusi) dengan cara yang baik, misalnya melalui  talkshow.  

Ketiga,  menyampaikan  berita/ informasi  yang  benar. Berita/ informasi yang disampaikan kepada masyarakat hendaknya sesuatu yang benar, yang bersih dari penipuan dari kebohongan. Oleh karena itu para peliput berita/ informasi hendaknya bertindak teliti dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Kalau ada informasi yang belum jelas hendaknya diklarifikasi (QS. AI-Hujurat: 6).

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِن جَاۤءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإ فَتَبَیَّنُوۤا۟ أَن تُصِیبُوا۟ قَوۡمَۢا بِجَهَـٰلَة فَتُصۡبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَـٰدِمِینَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.

Keempat, memberikan hiburan dan peringatan. Menyampaikan informasi keagamaan atau pun informasi umum, hendaknya ada aspek hiburannya. Di samping itu hendaknya juga disertai peringatan kepada audiens agar jangan sampai melakukan perbuatan tercela, atau melanggar aturan yang berlaku.

Kelima, dilarang memfitnah. Fitnah adalah ucapan, tulisan, atau gambar yang menjelekkan orang lain, seperti menodai nama baik, atau merugikan kehormatan orang lain. Islam melarang perbuatan memfitnah (QS. AI-Hujurat: 12).

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱجۡتَنِبُوا۟ كَثِیرا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا یَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَیُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن یَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِیهِ مَیۡتا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّاب رَّحِیم

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.

Keenam, dilarang membuka/ menyiarkan aib orang lain. Dalam acara infotainment diungkap rahasia pribadi dari para selebritis, yang tidak jarang dibeberkan kejelekan mereka. Dalam sebuah hadis, nabi melarang penyampaian informasi yang demikian (ghibah), kecuali untuk mengungkap kedzaliman.

Ketujuh, dilarang mengadu-domba. Nabi juga melarang perbuatan mengadu-domba (namimah) antara seseorang/ sekelompok orang dengan orang/ kelompok orang lain karena bisa menimbulkan perpecahan dan malapetaka lainnya.

Kedelapan, menyuruh  berbuat  baik  dan  mencegah  berbuat  jahat.  Intisari  yang  seharusnya menjiwai  seluruh  kegiatan  komunikasi  adalah  menyuruh  orang  untuk  berbuat kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan jahat, yang dikenal dengan istilah amar makruf nahi munkar. Termasuk perbuatan munkar adalah menyiarkan hal-hal yang bersifat pornografi dan pornoaksi. 

Dewan Pimpinan MUI Pusat, Jakarta, dalam fatwanya Nomor 287 Tahun 2001 antara lain menyatakan: Menggambarkan, secara langsung atau tidak langsung, tingkah laku secara erotis, baik dengan lukisan, gambar, tulisan, suara, reklame, iklan, maupun ucapan, baik melalui media cetak maupan elektronik yang dapat membangkitkan nafsu birahi adalah haram.

Oleh karenanya etika jurnalis sangat penting untuk diketahui. Etika adalah pondasi dasar pekerjaan. Karena karakter, sifat, dan mental seorang jurnalis sangat mencerminkan  dan  menentukan  wartawan  dalam  melaksanakan  tugas-tugasnya. Etika profesi adalah semacam standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat profesi tertentu. Maka etika jurnalistik adalah adalah standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat para jurnalis dalam melaksanakan pekerjaanya. Etika jurnalistik penting, bukan hanya untuk memelihara dan menjaga standar kualitas pekerjaan jurnalis tetapi juga untuk melindungi atau menghindarkan khalayak masyarakat dari kemungkinan dampak yang merugikan dari tindakan atau perilaku keliru dari jurnalis bersangkutan. 

Dalam menyiarkan pesan, media penyiaran telah diatur dalam peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang Standar Program Siaran (SPS). Standar program siaran ditetapkan agar lembaga penyiaran dapat menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol, perekat sosial, dan pemersatu bangsa. Lembaga penyiaran dan krunya seyogianya memperhatikan dan menaati aturan yang berlaku agar dalam menjalankan tugasnya mencapai tingkat profesional serta bernilai di dunia dan di akhirat. (Harun, 2019: 15)

Itulah dua pendekatan mengenai etika penyiaran yang akan menjadi pedoman bagi para content creator agar konten-konten yang diproduksi tidak melanggar etika yang berlaku di masyarkat. Etika tersebut tujuan utamanya agar iklim penyiaran di negeri kita semakin kondusif dan positf menuju Indonesia jaya yang dirahmati Allah SWT.