Askurifai Baksin
Tiga pekan ini kita digegerkan dua peristiwa menggemparkan. Pertama, tertangkapnya orang yang sering dijuluki guru spiritual bernama Gatot Brajamusti. Dia ditangkap di Mataram setelah terkena operasi tangkap tangan pihak kepolisian setempat dengan barang bukti serbuk sabu. Kedua, ‘diadilinya’ orang yang dijuluki sang motivator bernama Mario Teguh karena ada seorang pria bernama Ario Kiswinar Teguh yang mengaku anaknya. Mario ‘diadili’ kalangan nitizen sekaligus oleh Bayu Sutiono di sebuah program khusus di stasiun tv swasta. Kebetulan keduanya mewakili sosok yang menjadi panutan, yakni guru spiritual dan sang motivator.
Publik sangat mengenal keduanya karena mereka dibesarkan layar kaca dengan sorotan kamera video. Tanpa jasa kamera popularitas keduanya mungkin tidak sehebat sekarang. Ketika mereka menjadi viral di media massa pun publik mengetahui semua. Jadi, mereka diangkat dan dijatuhkan oleh mata kamera yang diterima oleh mata hati pemirsa.
Berkaitan dengan ‘kehebatan’ kamera belum lama ini pakar manajemen Rhenald Kasali meluncurkan buku terbaru berjudul Camera Branding: Cameragenic vs Auragenic. Lewat buku ini, Rhenald berusaha menyodorkan sisi menarik dari sebuah fenomena jaman. Menurutnya, tanpa disadari, masyarakat kita telah berada di dalam sebuah peradaban baru yang disebut peradaban kamera.
“Hampir semua orang, apakah itu presiden, politisi, pengacara, artis ataupun petani dan pemulung, tak ada satu pun yang pergi tanpa membawa kamera. Ya, kamera saku maupun kamera ponsel,” ujarnya mengutip kalimat-kalimat yang ada dalam pengantar buku barunya itu.Tapi di depan kamera tak ada yang asli. Semua adalah akting, kecuali diambil dengan teknik hidden atau candid camera.”Artis-artis papan atas memakai bulu mata dan rambut palsu, para CEO memasang dagu wibawa, anak-anak alay bergaya lepas, dan politisi berebut bicara. Begitu dimatikan, manusia berhenti berakting, melemaskan otot-ototnya, dan kembali apa adanya.
Nada dan Noda
Kini keduanya sedang bergelut dengan ‘nada’ dan ‘noda’. Gatot Brajamusti kini harus mendekam di rutan Polda NTB. Nada-nada yang sebelumnya dia lantunkan di padepokannya yang membuat dia dianggap ‘guru spiritual’ kini sudah tak terdengar. Dia hanya tertunduk malu dengan kondisi tertangkap tangan. Satu persatu muncul pengakuan yang memojokkannya. Noda yang terkuak saat ini seolah menutup nada-nada dalam bentuk nasihat spiritual, lagu religi, dan santunan kepada ‘wong cilik’.
Demikian juga dengan sang motivator. Mario yang biasa menyusun nada diktif dan kini menarik ibarat pegas, semakin keras penolakannya terhadap tuntutan Ario yang mengaku anaknya, semakin keras pula reaksi yang muncul di masyarakat virtual. Tak tanggung-tanggung adik kandung Mario ikut membela keponakan. Ya, nada-nada indah yang sering Mario lontarkan di sebuah program tv swasta seolah berubah menjadi noda. Berbagai reaksi netizen cukup memojokkan dia. Malah salah seorang netizen menyatakan, jika kasus yang menimpa Mario benar maka dunia motivasi akan hancur.
Menjadi besar lewat kamera dengan branding mulia seperti guru spiritual dan sang motivator tidak gampang. Ketika populer, berbagai keuntungan mengalir. Penghargaan dalam bentuk uang, sanjungan, dan penghormatan dari publik cukup tinggi. Tapi ibarat pepatah ‘semakin tinggi kita naik maka semakin kencang pula tiupannya’. Kini, ketika sedang di atas keduanya ditiup bukan oleh angin sepoi tapi badai dahsyat.
Selebriti dan Profesional
Kehadiran guru spritual dan motivator dalam dinamika kehidupan sering membantu aktivitas kalangan profesional. Sebut saja di sini dua kalangan yang identik dengan guru spiritual dan motivator, yakni artis dan wirausahawan. Dunia selebriti yang penuh cobaan duniawi sering mendambakan sosok guru spiritual. Tak jarang kalangan artis mencari pembimbing hidup rohaninya kepada guru spiritual. Di sinilah posisi orang seperti Aa Gatot dibutuhkan kalangan artis. Apalagi Aa Gatot mempunyai padepokan (catatan: bukan pesantren) yang dulu dikenal bisa membuat para artis hidup lebih tenang.
Sementara, kalangan enterpreneur dengan berbagai usaha startup-nya selalu haus menghadiri training para motivator. Saat ini dunia motivator sedang tumbuh pesat. Selain Mario Teguh yang dinobatkan sebagai motivator nomor 1 Indonesia, ada nama-nama lain, seperti Tung Desem Waringin, Rhenald Kasali, Christian Adrianto, Hilbram Dunnar, dan lainnya. Selain nama-nama itu ada para motivator baru yang kini mulai menanjak. Diantara mereka Tung dikenal sebagai murid langsung dari motivator dunia, Tony Robins.
Kedua branding (guru spiritual dan motivator) merupakan profesi tidak sembarangan. Kepercayaan, sikap hidup, orientasi ke depan, dan harapan kalangan artis dan wirausahawan dipertaruhkan di tangannya. Sebelumnya juga pernah ada kasus Anand Krisna, seorang guru spiritual yang dilaporkan negatif oleh seseorang. Juga ada seorang dai muda hasil audisi yang terkena kasus dengan salah seorang kru audio di sebuah acara yang membuatnya menghilang dari layar kaca. Ini hanya gambaran betapa seseorang yang menyandang guru spiritual atau tokoh agama rawan godaan dan ujian.
Sang motivator pun demikian. Para calon pengusaha dan profesional seolah menyerahkan orientasi bisnisnya kepada sosok ini. Mereka terkadang harus membayar cukup mahal untuk mengikuti ceramah dan trainingnya. Sebagai contoh traningnya Tony Robins biasa dibandrol di atas Rp 5 juta. Atau ada yang sengaja langsung datang meminta menjadi muridnya. Jika guru spiritual oleh pengikutnya dianggap manusia ‘setengah dewa’, sementara motivator dijuluki ‘nabinya’ kalangan profesional. Ketika selebriti maupun profesional kondisinya seperti ini maka guru spiritual dan sang motivator tak boleh bernoda. Jika ternoda maka mereka akan dicela, di bully, dan dibuang. Ya, kini mereka terperangkap peradaban kamera. Semoga menjadi ajang instrospeksi diri.**
*Artikel ini pernah dimuat di HU Pikiran Rakyat Bandung
Would you like to share your thoughts?
Your email address will not be published. Required fields are marked *