Oleh Askurifai

DI era informasi digital, media massa mempunyai fungsi sentral dalam menciptakan opini publik dan memberikan representasi politik di satu negara. Istilah  “Others” lebih membidik praktik bagaimana media mampu memengaruhi persepsi masyarakat terhadap kelompok minoritas atau yang sering diabaikan (istilah di sini ‘other’). Artikel ini mencoba mengupas dampak media terhadap politik representasi kelompok “Others,” serta tantangan dan peluang yang muncul pada konteks ini.

Teori Representasi Media yang cukup dikenal khalayak adalah teori yang dicetuskan oleh Stuart Hall. Menurut Hall (2005: 18-20), representasi merujuk pada kemampuan untuk menggambarkan atau membayangkan. Dalam konteks ini, representasi menjadi signifikan karena budaya dibentuk oleh makna dan bahasa, di mana bahasa merupakan bentuk simbol atau representasi. Budaya sendiri selalu menggunakan bahasa sebagai perantara untuk menyampaikan makna kepada anggota kebudayaan. Hall menekankan bahwa representasi bukan hanya sebagai alat komunikasi dan interaksi sosial, melainkan juga sebagai kebutuhan dasar tanpa yang manusia tidak dapat berinteraksi.

Lebih lanjut, Hall (1997: 15) mengelompokkan representasi menjadi tiga bentuk, yaitu Representasi reflektif, Representasi intensional, dan  Representasi konstruksionis. Representasi reflektif mencakup bahasa atau simbol yang mencerminkan makna. Representasi intensional membahas cara bahasa atau simbol menggambarkan maksud pribadi penutur. Sedangkan representasi konstruksionis mengulas bagaimana makna direkonstruksi melalui bahasa.

Secara khusus, Hall mengajukan dua pendekatan untuk mengkaji representasi konstruksionis, yaitu pendekatan semiotik dan diskursus, yang mirip dengan konsep encoding dan decoding yang diterapkannya dalam pengkajian media. Encoding merujuk pada cara informasi dikemas oleh penutur (produksi informasi), sementara decoding mengacu pada cara pengonsumsi informasi merekonstruksi informasi tersebut (Storey, 2006: 11-12).

Hall (1997: 20-21) juga memperkenalkan pemikiran politik representasi yang terkenal. Dalam rumusannya, ada empat tahap praktik politik representasi. Pertama, mereduksi konflik internal. Kedua, menciptakan konsensus bersama. Ketiga, mencapai ruang publik. Keempat, jika politik representasi tidak berhasil, setiap anggota kebudayaan harus memulainya kembali dari tahap awal — sirkuit kebudayaan.

Tahap pertama bertujuan untuk menciptakan integrasi atau solidaritas kelompok. Tahap kedua melibatkan upaya untuk mengonstruksi cara kelompok atau “kita” ingin dilihat oleh pihak lain. Ruang publik pada tahap ketiga merujuk pada tempat di mana kelompok dapat menyampaikan aspirasi, baik itu di dunia maya maupun dunia nyata. Pada tahap keempat, evaluasi dilakukan terhadap langkah-langkah sebelumnya, terutama jika politik representasi belum mencapai hasil optimal, seperti konflik internal yang masih ada atau konsensus yang belum dicapai.

Politik representasi berbeda dari “politik identitas.” Politik identitas menjadi bagian dari politik representasi tetapi politik representasi tidak selalu menjadi bagian dari politik identitas. Politik identitas sering kali menggunakan isu SARA dalam konteks politik praktis, dan seringkali dilakukan oleh mayoritas untuk mengintimidasi minoritas.

Sementara itu, politik representasi dilakukan oleh minoritas, dengan fokus utama pada memberikan ruang bagi kebudayaan mereka, dan implikasi politiknya bersifat sekunder atau ikutan. Dengan kata lain, orientasi utama dari politik identitas adalah kekuasaan politik, sedangkan politik representasi lebih berfokus pada kebudayaan.

Anastasia Savitri dalam teksnya menggambarkan Teori Encoding dan Decoding Stuart Hall, di mana setiap pesan atau makna dianggap sebagai rangkaian peristiwa sosial mentah yang memuat ideologi. Hall membagi proses ini menjadi tiga momen, yaitu encoding, decoding, serta interpretasi dan pemahaman inti melalui analisis reaksi audiens. Model teori ini menekankan pentingnya memeriksa baik pesan maupun interpretasi audiens terhadap pesan tersebut.

Hall mendefinisikan encoding sebagai analisis konteks sosial-politik saat konten diproduksi, sementara decoding adalah proses konsumsi dari suatu konten media. Dia menyoroti bahwa individu kadang-kadang mengalami paradoks dalam memahami pesan, dan penerimaan pesan bergantung pada kemampuan individu untuk menerima pesan.

Menurut Hall, makna yang terkandung dalam sebuah pesan dan interpretasinya bisa memiliki perbedaan, dan kode yang disandi (encoding) serta yang disandi balik (decoding) tidak selalu bersifat simetris. Hall mengidentifikasi tiga posisi hipotetikal dalam proses penyandian balik (decoding). Pertama, posisi dominan-hegemonik, terjadi ketika individu memahami pesan terkonotasi dan bertindak sesuai dengan kode yang mendominasi. Kedua, posisi negosiasi, terjadi ketika individu menerima ideologi dominan dan bertindak sesuai tetapi dengan beberapa pengecualian.

Ketiga, posisi oposisional, terjadi ketika individu memahami pesan namun menyandikannya secara bertolak belakang. Posisi ini hanya muncul ketika individu berpikir kritis dan menolak segala bentuk pesan, memilih untuk mengartikulasikannya sendiri. Dengan demikian, Teori Encoding dan Decoding Stuart Hall memberikan pandangan mendalam tentang bagaimana proses komunikasi melibatkan produksi, konsumsi, dan interpretasi pesan dalam konteks masyarakat.

Fursich dalam bukunya “Media and the Representation of Others” menjelaskan, selain mencerminkan realitas, representasi dalam media seperti film, televisi, fotografi, dan jurnalisme cetak menciptakan realitas dan menormalkan pandangan dunia atau ideologi tertentu. Pandangan ini memahami konsep ideologi sebagai kekuatan hegemonik dan normalisasi dalam masyarakat kontemporer, seperti yang dikembangkan oleh para ahli teori budaya (Eagleton, 1991). Para pakar media budaya khususnya tertarik pada representasi sebagai gambaran yang dikonstruksi dan membawa konotasi ideologis. Karena representasi dapat menghasilkan makna budaya bersama, representasi yang bermasalah dapat mempunyai konsekuensi negatif terhadap pengambilan keputusan politik dan sosial dan dapat berimplikasi pada berlanjutnya kesenjangan sosial dan politik. Mengikuti perubahan budaya dalam banyak disiplin ilmu humanistik dan pengaruh penting media dan representasi dari teori semiotika dan pascastruktural lainnya (lihat Fursich, 2002b), representasi dari ‘Orang Lain’ (etnis, ras, gender atau seksual) minoritas, internasional lainnya) telah menjadi titik fokus studi media budaya kritis.

Ada dua bentuk keberbedaan yang akan dibahas, yakni pertama, representasi media terhadap kelompok minoritas sebagai ‘Orang Lain’ dalam suatu negara (yaitu minoritas etnis, bahasa, ras, agama, atau seksual). Kedua, peran media dalam menjelaskan hubungan internasional, konflik dan budaya. Representasi media terhadap kelompok minoritas telah menjadi perhatian utama para pakar media dalam paradigma kritis budaya (misalnya, Castaneda dan Campbell, 2006; Dines dan Humez, 2003).

Pakar budaya Stuart Hall (1997) memberikan beberapa saran untuk mencoba menantang rezim representasi yang dominan melalui transcoding. Premisnya dalam analisis representasi adalah prinsip poststruktural bahwa ”makna pada akhirnya tidak akan pernah bisa diperbaiki” (p.270). Transcoding kemudian dapat digunakan untuk ”mengambil makna yang sudah ada dan menyesuaikannya kembali dengan makna baru” (p.270). Namun, strategi Hall sulit diterapkan sebagai strategi media yang sebenarnya. Hal ini mengasumsikan bahwa sudah jelas mana representasi yang positif dan negatif, padahal kenyataannya banyak produser konten media harus mengambil keputusan cepat mengenai representasi yang ambigu.

Selain itu, Hall memahami sebagian besar strategi ini sebagai aktivitas yang didorong oleh audiens. Contohnya, beberapa jalan penting untuk transcoding mungkin berupa alur cerita yang membuka representasi dan mematahkan stereotip melalui penggunaan humor dan berlebihan untuk menampilkan posisi dominan dalam sudut pandang baru (seperti menggambarkan Kulit Putih sebagai ”etnis”, bukan mengkonstruksi adalah sebagai kategori laten dan dinormalisasi). Pendekatan lain untuk menemukan strategi representasi alternatif yang tidak esensial adalah dengan memeriksa apakah pernah ada momen transformasi dalam teks media tentang ‘Yang Lain’. Untuk membuka teks dan representasi, langkah penting bagi jurnalis dan produser adalah mengontekstualisasikan liputan sebanyak mungkin. Individualisasi dan personalisasi, sebagai strategi khas jurnalisme Anglo-Amerika, sering kali fokus terlalu sempit pada kasus individual dan kehilangan jejak implikasi sistemik yang lebih luas. Meskipun kisah pribadi seorang migran, misalnya, mungkin berguna untuk menjelaskan situasi kehidupan yang sulit bagi khalayak umum, hal tersebut tidak serta merta memberikan waktu untuk fokus pada kesenjangan ekonomi global yang mendasari terjadinya migrasi.

Ia menjelaskan lima prosedur musyawarah dan demonstrasi sebagai cara yang efektif untuk melemahkan representasi yang bermasalah dan untuk menghindari kehancuran simbolis. Pertama, jurnalis dapat menjadi pembela ‘Orang Lain’, memberikan mereka suara dengan meningkatkan cara pemberitaan yang sudah ada sebelumnya tentang ‘Orang Lain’ atau memperluas debat publik mengenai isu-isu kontroversial. Kedua, jurnalis dapat melakukan intervensi secara lebih aktif sebagai narasumber publik dengan melawan pembuat kebijakan pemerintah yang sudah mapan dalam wawancara dan melemahkan kerangka liputan yang dibuat oleh pemegang kebijakan resmi. Oleh karena itu, para jurnalis mengupayakan pertukaran yang lebih demokratis. Ketiga, Cottle juga menekankan pentingnya mendukung dan menayangkan program-program yang memungkinkan pihak lain yang sebelumnya bungkam untuk menceritakan kisah mereka dari sisi mereka. Program-program ini membantu memanusiakan pengalaman hidup kelompok-kelompok yang terpinggirkan, sehingga berkontribusi pada ”pengakuan yang dimediasi” (hal.35). Keempat, penayangan memorial dan acara seremonial ‘Other’ membantu memberikan informasi kepada khalayak arus utama tentang kemungkinan historis dari perpecahan ras dan etnis saat ini.

Poin terakhirnya, Cottle menekankan pentingnya refleksivitas media (mirip dengan refleksivitas diri yang telah disebutkan sebelumnya) dan menekankan bagaimana liputan ini dapat mengubah representasi media yang sudah mengakar: Jurnalis dapat melakukannya dengan ”menyempurnakan” – yaitu, mewujudkan dan memanusiakan – status mantan “orang lain”, memposisikan mereka kembali dalam dunia sosial yang dibayangkan, yaitu kepedulian kolektif dan politik, serta mengakui kemanusiaan mereka yang telah diingkari. Dengan cara seperti itu, “orang lain” dapat direhabilitasi secara simbolis, stereotip masa lalu dapat dipatahkan dan identitas diposisikan ulang sebagai subjek aktif – dan bukan sekadar objek wacana orang lain. (hal.35). Khalayak media Untuk benar-benar mempertahankan segala upaya menuju lingkungan media yang lebih beragam, penting bagi media dan perwakilan Pihak Lain untuk mengintegrasikan khalayak sebagai mitra penting dalam upaya ini.

Fenomena Prosumen Jurnalistik

Semuamafhum adanya empat fungsi media massa, yakni to inform, to educate, to entertaint, dan to influence (memengaruhi). Keempat fungsi tersebut dirasakan masyarakat pengguna media. Namun, ketika media sosial berkembang didukung sarana internet, fungsi influence kini menjadi perhatian  karena influential-nya berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat  dan bernegara.

Kris Moeryanto (praktisi media) menyebut ada empat perusahaan besar yang kini influential-nya demikian kuat. Keempat perusahaan itu disebutnya sebagai The ‘four horsemen of the apocalypse’, yakni Facebook, Google, Apple serta Amazon. Pertanyaannya, apa yang membuat mereka sedemikian influential? Ternyata jawabannya algoritma. Ibarat senjata sangat rahasia, algoritma itulah yang selama ini membuat Google nyaris selalu berhasil menemukan jawaban atas apa saja pertanyaan kita. Algoritma pula yang membuat Apple selalu bisa merancang produk yang ditunggu-tunggu penggemarnya dan laku keras terjual di benua mana saja karena bisa “menebak” apa hasrat, keinginan serta ekspektasi yang diidamkan penggunanya. Pun algoritma-lah yang membuat Amazon bisa menjelma menjadi “toko serba ada”, persis seperti yang konsumen butuhkan. Berkat algoritma pula, Facebook bisa mendikte, menggiring, membentuk opini dan memengaruhi keputusan audiens. Dalam hal ini, Facebook melakukannya melalui kontrol emosi serta dengan rekayasa dan manipulasi trending topic.

Demikian juga trending topic. Jagat maya terguncang hebat dengan adanya penemuan Facebook melakukan manipulasi dalam menciptakan trending topic. Rahasia gelap praktik curang trending topicmenjadi benar-benar terbongkar, setelah The Guardianmenerbitkan artikel yang mengungkap bocoran dokumen rahasia berisi manual di internal Facebook tentang bagaimana tatacara rekayasa pengaturan trending topic dilakukan. Mendadak, lansekap pun gaduh. Tak kurang dari Senat AS pun sampai tergerak  mengusut skandal ini. Meluasnya bocoran dokumen tadi juga yang memaksa pihak Facebookakhirnya membuat pengakuan resmi, terkait tuduhan rekayasa trending topic. Tapi dalam statusresminya Mark Zuckerberg selaku CEO dan Founder Facebook tetap membantah keras tudingan rekayasa tersebut.(lihat: www.theguardian.com/technology/2016/may/12/facebook-trending-news-leaked-documents-editor-guidelines).

Prosumen Jurnalistik

Kini kita tahu,  ternyata di medsos pun mempekerjakan para kurator berita. Kelompok yang bertugas di trending news section,statusnya di Facebookmerupakan tenaga kontrak, bukan pegawai tetap. Rata-rata masih berusia 20-an atau 30-an tahun. Kebanyakan lulusan perguruan tinggi terkemuka, seperti Columbia University, New York University,atau Ivy League.Sebagian, tercatat pernah menjadi jurnalis di the New York Daily News, Bloomberg, MSNBC, serta The Guardian,Inggris. Walau dibayar pantas, kebanyakan mengeluhkan tentang suasana kerja yang penuh tekanan dan intimidasi. Bahkan kebanyakan merasa diperlakukan tak seperti layaknya manusia. Karena demi bisa mengontrol pendapat audiens, para news curator ini harus bisa menghasilkan trending topicsebanyak mungkin, selama 24 jam (www.kris170845.wordpress.com).

Realitas kerja jurnalistik tersebut di atas sebagai fenomena prosumen jurnalistik. Istilah prosumen berasal dari bidang ilmu manajemen yang menggabungkan antara produsen dan konsumen (disingkat prosumen). Sama seperti dalam penamaan alat produksi di multimedia. Jika kita membeli alat murah biasanya disebut standar konsumen (amatir), jika mahal disebut profesional. Namun, jika kita memilih diantara keduanya, setengah amatir setengah profesional disebut prosumen (bahasa Inggrisnya prosumer). Jadi, prosumen selalu berada di tengah.

Demikian juga dengan prosumen jurnalistik. Para pengguna medsos kini berbondong-bondong memasuki wilayah prosumen. Menurut Rhenal Khasali, masyarakat Indonesia kini terjangkiti sifat prosumen. Mereka awalnya menjadi konsumen berita, tapi dengan berkembangnya medsos mereka ingin juga menjadi produsen berita dengan cara menyebarkan berbagai informasi yang ‘seolah-olah’ berita. Fenomena inilah yang akhirnya memunculkan istilah hoax dan trending topic. Seolah kalau sudah di medsos sebuah informasi menjadi penting, berarti, menguasai hajat orang banyak, dan terutama mengandung influence.

Prosumen jurnalistik tentu tidak bisa karena dalam kajian jurnalistik selalu dibedakan antara pers dan jurnalistik. Pers merupakan media untuk memuat karya jurnalistik, sementara jurnalistik adalah kegiatan mencari, mengolah, membuat berita dan menyebarluaskan kepada khalayak secepat-cepatnya dan seluas-luasnya berdasarkan fakta dan data. 

Sementara kalau prosumen gejalanya para pengguna medsos mengirim berbagai peristiwa, foto atau video ke  semua orang tanpa proses jurnalistik melalui medsos. Karena tidak melalui proses jurnalistik, produknya bukan berita tapi hanya sekadar hoax atau trending topic saja. Selain itu medianya pun bukan media massa yang mempunyai empat fungsi di atas. Jadi, hati-hatilah menjadi prosumen jurnalistik karena Anda bisa terkena delik aduan, atau bahkan tersangkut UU ITE. Alih-alih ingin menyebarkan influence malah informasi menyesatkan dan ghibah.*

Referensi:

Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage Publications.

__________. 1997. Representation and The Media. Media Education Foundation: Northampton.

__________. 2005. Culture, Media, Language. CCCS: Birmingham.

Storey, John. 2006. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.

Fursich, Elfriede. 2010. “Media and the Representation of Others.”

www.theguardian.com/technology/2016/may/12/facebook-trending-news-leaked-documents-editor-guidelines).

(www.kris170845.wordpress.com)

www.theguardian.com/technology/2016/may/12/facebook-trending-news-leaked-documents-editor-guidelines).